Senin, 11 September 2017

cerpen tentang wanita sholehah

Cerpen Remaja Islami “Ketika HambaMu Jatuh Cinta”


      Bismillahirrohmanirrohim….Gambar
Aku bukanlah seorang wanita yang pandai mengartikan teka-teki_Mu. Tapi bila memang ini benar maka biarkanlah aku menjaganya….
Kulangkahkan kaki ini menuju dirinya. Kutahan kan perasaan tak tentu ini dalam aral melintang di depanku. Kumantapkan hati ini dalam keluh kesah tuk berucap “Minal aidzin walfaizin, Mas”. Kataku lembut tak memandangnya. Mukaku memerah tak kala ada kecenderungan dalam diriku tuk menghindarinya. Semua pepohonan masih beku tanpa reaksi memandangi tingkahku yang tak mereka mengerti. Sesaat aku terdiam kagum melihat jarak telapak tanganku yang hanya satu jengkal dengan tangannya. Haram baginya bersalaman dengan seorang akhwat. Mungkin, Begitu pemahamannya. Aku maklumi semua itu.
“De Uswah sekarang sekolah dimana?” ucapannya lirih agak malu denganku. “Anu, apa itu SMA 7 Mas Zhain.” Jawabku terpatah-patah padanya. Dalam ketidaktentuan perasaan ini aku memilih pergi meninggalkannya dengan menutupi semua bahasa kalbuku. “Mas, Uswah buat minum dulu di belakang. Permisi !” kataku asal saja. “De’Uswah nggak usah repot-repot Mas juga mau pamit dulu. Wassalam….” Katanya berlalu meninggalkanku.
Hidupku serasa berwarna-warni mengenalnya tak dapat kupungkiri bahwa semua itu salah. Mengenalnya waktu itu adalah anugrah terindah dalam hidupku. “Bukankah aku tidak salah mengenalnya?” ucapku polos pada-Mu.
***
          Suara takbir tidak terdengar lagi seperti gemuruh suara takbir yang begitu merdu membuatku luluh tadi malam. Tapi kau pasti mendengar itu, Subhanallah ! Begitu merdunya amat lembut mengundang. Membuat semua orang tersanjung suara Muadzin itu, terlebih aku. “Gerangan suara siapa toh bu itu?” Tanyaku menaruh penasaran .”Lah, ibu ya ndak tau,” jawabnya. Terundang aku dihampirinya. Aku melangkah ringan menuju surau kecil di kampungku. Perlahan langkahku tertahan mengenali suara merdu itu. Aku semakin terpana.
Kuletakkan mukena dan sajadahku dibalik pembatas tirai putih. Saat aku bergegas melangkah berwudhu, Muadzin itu tepat dibelakangku tersenyum. Kampungku belu mengenal manajemen ikhwan akhwat yang baik dalam hijab berwudhu jadi saat itu tempat berwudhu masih satu tempat tanpa ada pembatas. “Udah lama De….”katanya mengagetkanku. ”Belum,, Suara Mas Zhain merdu sekali,” kataku polos. Lagi-lagi dia hanya tersenyum memamerkan lesung pipitnya merespon pujianku. Tingkahku tak karuan saat itu. Aku berpaling menuju dalam surau kutenangkan fikiranku menunggu iqomah. Kumohon pada-Nya agar haluan hatiku labil saat melihatnya. Tak lupa beribu-ribu doa kupanjatkan.
***
        Libur lebaran telah berlalu, hiruk pikuk arus balik mudik mulai memenuhi jalur-jalur jalan raya bagaikan ribuan pasukan semut menyebar mencari butiran gula. Dan dalam suasana pagi nun sejuk mentaripun masih malu-malu menyapa di ufuk timur sana. Ada rona bahagia, malu dan ah tak dapat digambarkan. Serangkaian bunga edelweiss menyambutnya mewakiliku. Kutundukan kepalaku. “Ada perlu apa Mas Zhain tumben pagi benar kemari?” ucapku kaku. “Oh, ini orang tua Mas ngadain syukuran dirumah. Kalau berkenan De Uswah dan keluarga diharapkan hadir,”jawabnya. “Oh, pasti. Pasti kami sekeluarga hadir, “kataku yakin.
Mas Zhain adalah anak tunggal guru ngaji kami di kampung Waringin. Keluarganya begitu ramah,sopan dan begitu menjunjung tinggi agama dan akhlaknya. Makanya tak heran bila orang-orang di kampung waringin begitu menghormatinya. Mas Zhain tumbuh menjadi ikhwan yang begitu shaleh, kepribadian dan bahkan menjadi idaman wanita di kampung Waringin. Setamatnya dari SMP dulu dia terpanggil sendiri untuk mendalami ilmu agamanya disalah satu pondok di Jawa Timur. Baginya menuntut ilmu boleh dimana saja yang penting dengan tujuan mencari ridha Allah SWT , begitu ungkapnya. Sekarang beliau tengah kuliah di salah satu Universitas Negeri jurusan Teknik Kimia di Bandung.
“Bu, Uswah cocok ndak pake baju ini?” tanyaku sambil berlenggang di depan kaca. “Apa ndak terlalu berlebihan toh, ndok?’ jawabnya mengecilkan hatiku. “Ndak lah Bu,” Jawabku cuek. Berkali-kali kubenarkan kerudung merah jambuku di depan kaca. Kukaitkan ujungnya ke belakang dengan bross putih kesayanganku.
***
         Dalam mendung langit esok , aku tersipu malu menghadap-Mu. Berilah hamba-Mu ketenangan. Lama ku menunggu disitu. Namun tak ku dapat bayangan dirinya. “Mungkin sibuk” batinku. Kulirik lagi di setiap sudut rumahnya. Nihil tak membuah hasil. Satu jam lebih acara berlalu, suasana menjadi lengang saat sang guru ngaji kami di kampung Waringin, yang ku maksud Ayah Mas Zhain memberi sambutan.
“ Kami sangat berbahagia dan turut berterima kasih atas kehadiran Bapak, Ibu, saudara, saudari dan yang telah memberikan kesempatan memberi doa restu bagi putra kami Mohamad Zhain untuk dapat menuntut ilmu di negeri orang. Untuk itu kami mohon doa dan restu Bapak, Ibu, saudara, saudari sekaliyan agar putra kami selalu dalam lindunganya-Nya dalam menuntut ilmu nanti. Dan semoga Ridha-Nya selalu menyertainya. Aamiin.” begitu sambutanya.
        Saat itu mas Zhain datang menghampiri kami semua. Dua koper dan satu tas kecil mengiringinya di belakang. Ku lihat dia bersujud di depan orang tuanya, memohon doa restu. Dia berjalan teriring doa dan bersalaman dengan semua tamu undanganya, kecuali kami kaum hawa yang bukan mahromnya. Dia hanya menyatukan kedua telapak tanganya lalu diacungkan sopan kepada kami. Taksi blue bird telah menantinya di ujung sana. Bersamaan dengan itu hatiku tak rela melepasnya. Tapi apa dayaku? Apa hak aku disitu. Aku hanyalah salah satu tamu undangan yang diharapkan doa restunya. Hatiku berkecamuk. Ada yang menggelora. Ingin menahan dan berteriak tapi rasa ini beku. Sebenarnya apa landasan tingkahku selama ini. Cinta? Aku pun tak tahu bagaimana pengertianya. Kupandangi langkahnya dalam menuju jalan-Mu. Dan mutiara mata ini menetes tak kupedulikan. Tak lebih 8m jarakku denganya. Dia melihatku. Benar-benar melihatku.
“Ya Rabbi, lindungilah ia. Jagalah dia. Tunjukanlah dia jalan yang benar-benar lurus kepada-Mu. Ridhailah tujuan yang baik itu. Dan bila memang benar ini yang Engkau maksud dengan cinta. Maka jagalah perasaan ini dan simpanlah rasa ini rapat-rapat dalam sanubari. Sungguh hanya Engkaulah yang tahu. Dan biarkanlah dia merasakanya sendiri kelak, kalau aku benar-benar ingin memillikinya atas seizin-Mu,” doaku mengiringi kepergiannya dulu.
Dia hanya tersenyum mengangguk sembari seakan tahu isi hatiku sambil berlalu meninggalkan kami semua.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar